1.
SOSIAL DAN KEBUDAYAAN DI ACEH
Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris,
Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 denganBritania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Unsur Unsusr Keanekaragaman Budaya di Aceh
Ø
Bahasa
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi
NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak
penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa
Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli
bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh,
kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh
Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat
di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala
Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-Tangan, Meukek, Trumon dan
Bakongan.
Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan
Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh.
Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada
juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh
sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat
Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di
Australia. Selain Bahasa Aceh ada juga Bahasa yang lain seperti Bahasa Gayo,
Bahasa Alas, Bahasa Tamiang, Bahasa Aneuk Jamee, Bahasa Kluet, Bahasa Singkil,
Bahasa Haloban, dan Bahasa Simeulue.
Ø
Sistem Religi
Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima
agama Islam. Oleh sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi
Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat antara
Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian
kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur
kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam.
Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak
kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih terdapat
sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
Ø
Sistem Mata
Pencaharian
Setiap orang yang hidup memerlukan makanan untuk menyambung
hidupnya. Dalam suku Aceh, untuk mendapatkan makanan sebagian besar dari mereka
bekerja sebagai petani dan beternak. Namun, masyarakat yang bermukim di
sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan, dan tidak sedikit juga yang
berdagang.
Mata pencaharian pokok suku aceh adalah bertani di sawah
dan ladang dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa dan
lain-lain. Disamping bertani, masyarakat suku aceh juga ada yang beternak kuda,
kerbau, sapi dan kambing yang kemudian untuk dipekerjakan di sawah atau di
jual.
Untuk masyarakat yang hidup di sepanjang pantai, umumnya
mereka menjadi nelayan dengan mencari ikan yang kemudian untuk menu utama
makanan sehari-hari atau dijual ke pasar. Bagi masyarakat yang berdagang,
mereka melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya
dengan menjajakan barang dagangannya dari kampung ke kampung.
Ø
Organisasi Sosial
1. Sistem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang
terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat
menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua
istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi
antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan
prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal
(tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak ayah
mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan
ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil
adalah keluarga inti yang disebut rumah tangga. Ayah berperan sebagai kepala
keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung
jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Pada orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip
patrilineal atau menurut garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan yang
berlaku adalah eksogami merge, yaitu mencari jodoh dari luar merge sendiri.
Adat menetap sesudah menikah yang berlaku bersifat virilokal, yang terpusat di
kediaman keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari beberapa keluarga luas disebut
tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk bergabung membentuk suatu federasi adat yang
disebut belah (paroh masyarakat).
Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan
prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah
eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau
matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga
inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu
beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga
disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah
(klen).
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan
prinsip patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki.
Adat menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu
bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita
2. Sistem Pelapisan
Sosial
Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan
sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan Keluarga
Sultan, Golongan Uleebalang, Golongan Ulama, dan Golongan Rakyat Biasa.
Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang pernah
berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon untuk
laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-orang
keturunan bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah
kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka
agama lazim disebut Teungku atau Tengku.
Pada masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan
masyarakat atas tiga lapisan sosial, yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan
ughang bepake. Golongan pertama terdiri atas raja beserta keturunannya. yang
menggunakan gelar Tengku untuk laki-laki dan Wan untuk perempuan; golongan
kedua adalah orangÂorang yang memperoleh hak dan kekuasaan tertentu dari raja,
yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan golongan ketiga merupakan golongan
orang kebanyakan.
3. Sistem
Kemasyarakatan
Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut
gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik.
Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum
meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh
seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan. Kehidupan
sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan
agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat
adat).
Ø
Sistem Pengetahuan
Suku Aceh memiliki sistem pengetahuan yang mencangkup
tentang fauna, flora, bagian tubuh manusia, gejala alam, dan waktu. Mereka
mengetahui dan memiliki pengetahuan itu dari dukun dan orang tua adat.
Pengetahuan yang terdapat dalam suku aceh, yaitu tentang
tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa
Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu (gambar
terlampir). Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama,
pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja
Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di
Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.
F. Sistem Tekhnologi dan
Peralatan Hidup
1. Persenjataan
Orang Aceh terkenal sebagai prajuri-prajurit tangguh
penentang penjajah, dengan bersenjatakan rencong, ruduh (kelewang), keumeurah
paneuk (bedil berlaras pendek), peudang (pedang), dan tameung (tameng). Senjata-senjata
tersebut umumnya dibuat sendiri.
Ø
Kesenian
1. Seni Lukis :
Kaligrafi Arab
Seni kaligrafi Arab merupikan salah satu kesenian yang ada
dalam suku aceh. Melukis kaligrafi ini biasanya dilukis di atas kanvas yang
bertujuan sebagai hiasan dinding di dalam rumah atau mesjid dengan melukiskan
Asmaul Husna dan sebagainya. Kesenian ini banyak terlihat pada berbagai ukiran
mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainya.
2. Seni Pahat : Memahat
Rumah Adat dan Nisan
Seni pahat yang ada pada suku aceh adalah memahat hiasan
pada rumah adat atau nisan. Seni pahat yang diaplikasikan pada rumah adat
menunjukkan kepemilikan dan status sosial pemiliknya. Sedangkan seni pahat yang
diaplikasikan pada nisan menunjukkan status sosial yang dikuburkan, dan juga
memberikan informasi nama dan tahun serta tanggal wafat dari tokoh yang
dikuburkan.
3. Seni Musik : Rapai
Geleng
Rapai geleng merupakan seni musik yang dilakukan oleh tiga
belas laki-laki/perempuan yang duduk berbanjar, seperti duduk diantara dua
sujud ketika melaksanakan shalat. Masing-masing memegang alat tabuh sambil
bernyanyi bersama. Antara musik dan gerak yang dimainkan bersenyawa. Awalnya
lambat, sedang, setelah beberapa detik berubah cepat diiringi dengan gerakan
kepala yang digelengkan ke kiri dan kekanan. Mereka menepuk-nepuk tangan dan
dada, juga menepuk tangan dan paha. Ada yang bertindak sebagai pemain biasa,
syech dan aneuk dhiek.
4. Seni Tari : Tari
Saman
Tarian ini merupakan salah satu media untuk pencapaian
dakwah. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun,
kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. dilakukan dalam posisi duduk
berbanjar dengan irama dan gerak yang dinamis. Suatu tari dengan syair penuh
ajaran kebajikan, terutama ajaran agama Islam.
sumber :
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar